[fiction] REDFERN
23:36Saat itu jam 22.05 AEST.
Setelah berpisah di Townhall Station dengan teman lamaku yang bekerja di Sydney 4 tahun terakhir, akhirnya aku sendirian di dalam kereta menuju Mascot. Aku sengaja memilih untuk duduk di kompartemen atas kereta, karena bisa melihat pemandangan keluar tanpa terpotong trotoar.
Seharian berjalan-jalan sambil mengobrol Panjang lebar seharian ternyata melelahkan juga ya. Saking menyenangkannya, baru terasa kakiku pegal sekarang… dan kantuk mulai melanda.
Eh, gak boleh, gak boleh ketiduran, aku harus turun dan ganti kereta di stasiun berikutnya, Central Station, batinku.
Tapi mataku berkata lain, rasanya baru sedetik ketiduran, aku melihat tulisan Central Station bergerak melewati jendela keretaku. Ah sial, bener kan, kelewat. Kalau begini, aku harus turun di station selanjutnya. Putar balik, atau… oh ternyata bisa naik bus langsung ke Mascot, meskipun agak lama.
Stasiun selanjutnya apa sih? Redfern Station? Oke, aku akan turun di sana. Kali ini aku memastikan mataku terbuka lebar sampai kereta berhenti di stasiun itu.
Beberapa menit kemudian aku melangkah turun dari kereta di stasiun yang begitu sepi. Stasiun Redfern terdiri dari beberapa jalur kereta yang kosong saat itu. Wajar saja, saat itu sudah hamper jam setengah sebelas malam. Aku duduk di bangku terdekat untuk mengecek halte bus terdekat.
Untuk menuju ke penginapanku di Mascot, dari halte Regent Street, aku harus naik bus 309. Hmm, haltenya jalan 300 meteran dari sini, tapi untungnya tinggal lurus saja, dan aku tidak sedang membawa ransel berat. Masih ada 5 menit sampai bus selanjutnya. Aku lalu bergegas jalan cepat menuju ke halte bus itu.
Di luar stasiun, aku melihat kerumunan orang, tidak terlalu ramai, tapi kedengarannya mereka sedang adu mulut satu sama lain. Tanpa penasaran lebih jauh, aku berjalan melewati keramaian itu dan menyeberangi jalan. Aku melewati dua Gedung dan satu jalan yang dipenuhi restoran dan toko-toko yang tutup.
Setelah memastikan aku berada di jalur yang benar di Google Maps, aku melihat sebuah bus lewat di sampingku. Jangan-jangan nomor 309—wah! Betul ternyata! Di berhenti di depan halte di seberangku. Ah sial, ternyata aku harusnya menyeberang sekali lagi! Saat aku bermaksud untuk berlari menyeberang, dengan dramatis, bus itu berlalu dari hadapanku.
..
Itu artinya aku harus menunggu 10 menit lagi.
..
Sepi. Hanya ada seorang pria yang sedang menelepon tak jauh dari halte bus ini. Sudah terlalu larut untuk orang normal, apalagi hari ini hari Rabu, orang-orang tentu sudah ada di rumah masing-masing untuk istirahat, bersiap kerja besok pagi.
Saat aku duduk di bangku halte, tiba-tiba aku melihat seorang laki-laki yang mengenakan masker berjalan ke arahku. Bajunya cukup rapi, sepertinya dia baru pulang kerja. Aku lalu bergeser sedikit, siapa tahu dia berniat duduk untuk menunggu bus selanjutnya sepertiku.
“Sendirian?” tanyanya tiba-tiba.
Lah. Orang Indonesia ternyata. “Oh? Iya, sendirian. Mau duduk di sini?”
Dia melepas maskernya, lalu tersenyum. “Nggak, makasih. Nunggu bis nomor berapa?”
“309. Kalo masnya?”
“Oh, saya nggak nunggu bis. Kebetulan aja lewat. Saya tinggal sekitaran sini, tinggal jalan kaki. Terus tadi ngeliat mbak, ternyata bener orang Indonesia juga.”
Aku tersenyum mendengarnya. “Kerja di sini?”
Ia mengangguk. “Berapa menit lagi bisnya sampe?”
“Hmm… tujuh menitan lagi?”
“Oh, oke. Saya temenin ya kalo gitu.” Ia lalu menyender di papan jadwal samping bangku yang kududuki.
“Lah? Bukannya Mas mau pulang?”
“Gapapa, jam segini sepi banget di sini. Takutnya ada apa-apa. Barusan di deket stasiun abis ada yang berantem karena mabuk kayanya.” Jelasnya. “Dan bapak di situ itu, kayanya juga agak mabuk.” Ia menunjuk ke arah pria yang barusan menelepon seseorang.
Aku menganga, wah berarti kerumunan yang tadi beneran orang-orang yang berantem dong. Mas-mas ini baik banget. Kenapa aku careless banget, menganggap semua area di kota ini aman. Padahal sudah malam seperti ini, di kota manapun tentunya rawan untuk perempuan sendirian kalau sesepi ini.
“Thanks ya, jadi ngerepotin.”
“Nggak kok. Sama-sama orang Indonesia kan, harus dijagain dong.” Aku mengangguk-anggk setuju. “Dimana tinggalnya?”
“Di daerah Mascot.”
“Sekolah di sini?”
“Oh, nggak, liburan kok.”
“Ooh... kirain. Soalnya biasanya yang liburan tinggalnya di deket Surry Hills atau Central.”
“Kan biar deket bandara.”
“Hmm, bener juga. Sampai kapan di sini?”
“Sampai lusa. Lusa pesawat pagi ke Indo.” Jawabku. Ia mengangguk-angguk mengerti. “Udah lama kerja di sini?”
“Udah—lumayan lama, dari lulus kuliah.”
“Wah, udah jadi warga lokal dong.”
“Hahaha, nggak sih kayanya, masih ga bisa hidup tanpa nasi soalnya.” Ia terkekeh.
“Sering pulang ke Indo nggak?”
“Hmmm... setahun sekali kayanya. Lihat-lihat tiket murah dan load kerjaan aja. Maret ini saya rencananya mau pulang kok.”
Setelah itu kami berbincang-bincang lagi sebentar. Ternyata kita seumuran. Ia bercerita juga kalau dia sempat bekerja di Perth beberapa bulan dan hampir mati kesepian. Ia juga bercerita kenapa ia pakai masker, karena ia alergi dingin malam hari. Daripada meler-meler ga jelas, mendingan dicap orang aneh karena pake masker, katanya. Aku bercerita tentang alasanku terdampar di halte bus ini jam segini, gara-gara terlewat satu stasiun. Mas ini ramah banget, tujuh menit jadi berlalu begitu cepat. Tahu-tahu bus nomor 309 berhenti di depan kami.
“Beneran cuma tinggal naik bis ini aja kan? Perlu dianter sampe Mascot nggak?” tanyanya saat aku akan naik ke dalam bus. Aku menggeleng sambil tertawa kecil.
“Gak usah. Makasih banyak udah ditemenin nunggu bis. Beneran tinggal naik bis ini aja kok, Airbnb-nya beneran seberang halte kok di sana.” Jawabku mantap.
“Bener ya? Syukurlah kalo gitu. Kirain jauh lagi. Hati-hati ya.” Ia tersenyum, lalu mengenakan maskernya lagi.
“Sip, sekali lagi makasih banyak ya.” Aku lalu masuk ke dalam bus dan duduk di dekat jendela supaya bisa dadah-dadah ke arahnya dari dalam.
Bus 309 lalu bergerak meninggalkan halte itu. Dari kejauhan, aku melihat lelaki itu kembali berjalan kaki ke arah yang berlawanan. Lelaki itu baik banget, orang tuanya telah berhasil membesarkannya menjadi orang yang baik. Perlindungan Tuhan memang datang dengan bentuk yang tidak diduga-duga ya, bahkan orang yang tidak dikenal seperti dia bisa saja menemaniku sampai naik bus dengan selamat.
Di dalam bus, aku tersenyum sendiri mengingat kejadian ini. Semoga lelaki itu juga selamat sampai ke tempat tinggalnya.
**
Keesokan harinya, sekitar jam setengah Sembilan malam, setelah puas mengabadikan city lights di sekitaran Darling Harbour untuk terakhir kalinya sebelum kembali ke Indonesia dengan kamera yang kubawa, aku bergegas pulang ke penginapanku kembali. Aku menaiki kereta di Wynyard Station, dan berganti kereta di Central Station.
Keretaku berhenti di Central Station, dan kali ini aku tidak tertidur, tapi aku memutuskan untuk tidak turun di stasiun ini. Aku akan turun di Redfern, satu stasiun dari sini. Iya, sama dengan kemarin, tapi kali ini sengaja. Entah kenapa, tiba-tiba saja aku ingin mengunjungi halte Regent Street sekali lagi sebelum pulang besok pagi. Mungkin kejadian kemarin terlalu membekas di ingatanku. Kebaikan kecil dari saudara setanah air, yang bahkan tidak kuketahui namanya.
Aku kembali turun di Redfern Station. Kali ini, stasiun ini tidak sepi seperti kemarin. Banyak orang masih berlalu lalang. Aku berjalan-jelan sebentar di stasiun tersebut, dan mengambil beberapa foto sebelum akhirnya keluar menuju ke halte Regent Street.
Setelah berjalan 300 meter seperti kemarin, aku berdiri di depan student housing Iglu untuk mengambil foto halte bus itu. Halte itu masuk dipenuhi beberapa orang yang menunggu bus. Suasananya cukup hidup karena banyak toko dan restoran yang buka.
“Central Station-nya kelewat lagi?”
Tiba-tiba suara yang familiar terdengar dari belakangku. Aku kaget setengah mati, lalu menoleh ke arah suara itu. Lelaki yang kemarin!
Astaga, kenapa ini seperti kebetulan yang sengaja.
“Nggak.” Jawabku singkat. Aku bersumpah wajahku terlihat syok melihat lelaki itu saat itu. “Memang tadi sengaja mampir ke sini.” Lanjutku.
“Oiya?” dia tertawa. “Kenapa?” lalu melepas maskernya lagi.
“Hmm, kenapa ya. Tiba-tiba keinget kalau kemarin saya sama sekali gak foto-foto tempat ini, padahal ternyata bagus.” Jawabku sekenanya.
“Bagus? Yang bagus tuh masih ke arah sana lagi kali. Banyak muralnya.” Ia tersenyum. “Syukurlah kalau kali ini gak salah turun stasiun lagi. Besok jadi pesawat pagi?”
“Iya, jadi. By the way, jadi Maret pulang?”
Ia mengangguk. “Baru aja tadi siang beli tiket ke Jakarta. But anyway, kok bisa ya kita ketemu lagi di sini? Padahal jamnya beda dengan kemarin.”
Aku tersenyum. “Mungkin karena…” aku menarik napas Panjang. Ia meninggikan alisnya, menyimak. Seketika aku memberanikan diri melanjutkan kalimatku. “..kemarin kita belum sempet kenalan?”
Laki-laki itu tertawa. “Eh astaga, iya ya? Ampun deh. Sorry, sorry, saya lupa banget berarti kemarin.” Ia lalu menjulurkan tangannya. “Geo,” ujarnya, memperkenalkan diri.
“Yarra,” aku menjabat tangannya. Ia lalu mengeluarkan handphone-nya, dan menyerahkannya padaku.
“Kalau boleh, minta nomor WA kamu.” Ujarnya. Sesaat aku sadar dan buru-buru mengetik nomor WA-ku di handphone-nya, lalu mengembalikannya. Ia lalu mengirim pesan ke nomorku. “Udah keterima?”
“Oh, iya udah. Ini yang +61 kan?” tanyaku, memastikan. Ia mengangguk.
“Nanti kalo saya ke Jakarta, saya kabarin.”
Aku tersenyum.
“Masih naik bus nomor 309, kan?” tanyanya. Aku mengiyakan. “Tuh kayanya udah deket halte.” Ia menunjuk ke arah seberang jalan. Kami lalu menyeberang jalan bersama-sama. Aku bergegas menuju ke halte dan busnya tepat sampai saat itu. Aku mulai mengantri dengan orang-orang yang akan menaiki bus yang sama.
“Thanks ya, jadi ditungguin sampai dapat bis lagi.”
“Hahaha, gapapa kali.”
“So... see you on March, I guess?”
Ia tersenyum. “Yeap. See you on March.”
Aku pun menaiki bus dan melambaikan tangan ke arahnya lagi, sampai ia mengecil dan hilang dari pandangan, untuk terakhir kali sebelum kembali ke Indonesia.
***
First picture taken from https://railgallery.wongm.com/sydney-suburban/F115_0418.jpg.html
0 comments